China melakukan sejumlah upaya untuk mendorong angka kelahiran di negaranya yang sempat turun. Terbaru, Pemerintah China melarang keras masyarakatnya melaksanakan budaya pernikahan yang mahal, termasuk pemberian mahar yang mewah.
Di China, mahar yang mewah disebut caili. Caili adalah tradisi yang mewajibkan calon pengantin laki-laki memberikan mahar kepada keluarga calon pengantin perempuan untuk menunjukkan ketulusan, kekayaan, dan komitmen untuk merawat perempuan yang akan dinikahkan.
Dilansir dari The Economic Times, menurut survei yang dilakukan oleh Tencent News pada 2022 terhadap 1.846 penduduk, hampir tiga perempat pernikahan di China masih melakukan tradisi tersebut. Biasanya, keluarga laki-laki diharapkan membayarkan puluhan ribu dolar, berlipat-lipat dari pendapatan tahunan mereka.
Seorang kepala desa di Hebei mengaku bahwa banyak keluarga di desanya yang masih ‘meminta’ biaya hingga 300 ribu Yuan atau sekitar Rp664,4 juta (asumsi kurs Rp2.215/Yuan) untuk mahar pertunangan.
“Tidak mungkin pejabat desa bisa mengendalikan ini, kecuali mereka bisa menawarkan anak perempuan saya untuk dinikahi,” kata Wang Ling, salah satu masyarakat China yang putranya diminta membayar mahar senilai lebih dari 40 kali gaji bulanannya, yakni 328 ribu Yuan atau sekitar Rp726,5 juta untuk mendapatkan restu dari keluarga calon pengantin perempuan.
Dilaporkan, pada 2021 lalu Provinsi Hebei telah melarang tradisi caili dan tradisi kuno lainnya karena dianggap buruk. Selain itu, pada Februari lalu salah satu kabupaten di Provinsi Jiangsu juga memulai kampanye untuk “mencari ibu mertua yang paling cantik” yang tidak meminta terlalu banyak uang.
Lalu, salah satu kota di Jiangxi meminta para perempuan lajang untuk menandatangani surat perjanjian tidak akan meminta caili yang terlalu tinggi.
Dosen studi gender di University of Birmingham, Kailing Xie mengatakan bahwa caili dipandang sebagai “kolom ekonomi pernikahan” yang bila tidak diberikan kemungkinan akan menghilangkan keinginan orang untuk menikah.
Saat ini, sejumlah pemerintah dan swasta China meningkatkan subsidi bagi bayi yang baru lahir, memberikan cuti berbayar tambahan kepada pengantin baru, hingga melonggarkan aturan untuk mengizinkan pasangan yang belum menikah untuk mendaftarkan anak-anak mereka. Serangkaian perubahan kebijakan terbaru ini mencerminkan bahwa China memiliki tekad yang tinggi untuk meningkatkan angka kelahiran di negaranya.
Berdasarkan data resmi, pada 2022 populasi China turun untuk pertama kalinya dalam enam dekade. Data itu dinilai sebagai titik balik yang diperkirakan akan menandai dimulainya periode penurunan yang panjang.
Pada tahun yang sama, China mencatatkan tingkat kelahiran terendah, yaitu 6,77 kelahiran per seribu orang.
Sebagian besar penurunan tersebut merupakan hasil dari kebijakan ‘satu anak’ yang diberlakukan antara tahun 1980 dan 2015, serta lonjakan biaya pendidikan yang membuat banyak orang China tidak memiliki lebih dari satu anak, atau bahkan memiliki anak sama sekali.
Maka dari itu, kepala badan pengembangan keluarga meminta pemerintah daerah untuk mengambil langkah yang berani dan kreatif untuk mendorong kembali angka kelahiran di China. Semakin mahalnya harga pernikahan, terutama saat pertumbuhan ekonomi melambat dipandang sebagai salah satu alasan semakin sedikit masyarakat China yang menikah dan memiliki anak.