Maaf Amerika, Ini 3 Bukti Arab Sering ‘Selingkuh’ ke China

Putra Mahkota Saudi Mohammed Bin Salman bertemu dengan Presiden China Xi Jinping di Riyadh, Arab Saudi 8 Desember 2022. (Bandar Algaloud/Courtesy of Saudi Royal Court/Handout via REUTERS)

Babak baru terjadi dalam hubungan Arab Saudi dan China. Riyadh resmi menjadi “mitra” aliansi Beijing melalui Organisasi Kerja Sama Shanghai (Shanghai Cooperation Organization/SCO).

SCO adalah aliansi politik dan keamanan negara-negara yang tersebar di sebagian besar Eurasia. Di mana anggotanya termasuk China dan Rusia.

Dibentuk pada 2001 oleh China, Rusia dan negara-negara bekas Soviet di Asia Tengah, organisasi tersebut telah diperluas hingga mencakup India dan Pakistan. SCO diharapkan memainkan peran yang lebih besar sebagai penyeimbang pengaruh Barat di wilayah tersebut.

Iran juga merapat ke kelompok ini tahun lalu. Sama seperti Arab Saudi, Iran menjadi mitra.

Ini kemudian menimbulkan kekhawatiran bagi Amerika Serikat (AS), selaku sekutu tradisional Arab Saudi yang juga sekaligus rival China, Rusia dan Iran. Meski begitu, kemitraan antara Saudi dan AS memang mengalami pelemahan beberapa tahun terakhir terkait beberapa isu seperti keamanan dan minyak.

Namun sebenarnya, dalam rangkuman CNBC Indonesia hubungan mesra Arab Saudi dan China, termasuk ke Rusia juga sudah terlihat beberapa tahun. Berikut rangkumannya dari sejumlah media.

Rudal Balistik China di Arab Saudi?

Pada 2021, Arab Saudi disebut memproduksi rudal balistik dengan bantuan China. CNN International dan CNBC International melaporkan hal ini dari laporan badan intelijen AS.

Gambar satelit bahkan menunjukkan bahwa kerajaan Raja Salman bin Abdulaziz tengah memproduksi rudal di sebuah lokasi. Mengutip pejabat AS, intelijen dikatakan mengungkap beberapa transfer skala besar teknologi rudal antar kedua negara.

Foto itu diambil oleh Planet, sebuah perusahaan pencitraan komersial, antara 26 Oktober dam 9 November. Operasi pembakaran terjadi di fasilitas dekat Dawadmi, Arab Saudi.

“Bukti kuncinya adalah bahwa fasilitas tersebut mengoperasikan ‘lubang pembakaran’ untuk membuang sisa propelan padat dari produksi rudal balistik,” kata seorang ahli senjata dan profesor di Institut Studi Internasional Middlebury yang meninjau laporan tersebut Jeffrey Lewis.

“Fasilitas produksi rudal propelan padat sering kali memiliki lubang pembakaran di mana sisa propelan dapat dibuang dengan cara dibakar.”

Petrodolar Jadi Petroyuan

Di awal 2022, beredar kabar bahwa Arab Saudi disebut sedang dalam pembicaraan aktif dengan China terkait penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak. Hal ini disebut sebagai langkah baru guna mengurangi dominasi dolar AS di pasar minyak global.

Wall Street Journal menulis, pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan kian gencar.

“Arab Saudi marah atas kurangnya dukungan AS untuk intervensi mereka dalam perang saudara Yaman dan atas upaya pemerintahan Biden untuk mencapai kesepakatan dengan Iran mengenai program nuklirnya,” tulis media itu mengutip sumber kala itu.

“Para pejabat Arab Saudi mengatakan mereka terkejut dengan penarikan mendadak AS dari Afghanistan tahun lalu,” tambahnya,

China sendiri telah membeli lebih dari 25% minyak yang diekspor Arab Saudi. Jika dihargai dalam yuan, penjualan tersebut akan mendongkrak posisi mata uang China.

Arab Saudi juga mempertimbangkan untuk memasukkan kontrak berjangka berdenominasi yuan, yang dikenal sebagai petroyuan. China memperkenalkan kontrak minyak dengan harga yuan pada tahun 2018 sebagai bagian dari upayanya untuk membuat mata uangnya dapat diperdagangkan di seluruh dunia.

Impor minyak China telah membengkak selama tiga dekade terakhir. Ini sejalan dengan pertumbuhan ekonominya.

Menurut data dari Administrasi Umum Bea Cukai China, Arab Saudi adalah pemasok minyak mentah utama Tirai Bambu pada tahun 2021, disusul Rusia. Negara Islam itu menjual 1,76 juta barel per hari.

“Dinamika telah berubah secara dramatis. Hubungan AS dengan Arab Saudi telah berubah,” kata seorang pejabat Saudi yang mengetahui pembicaraan tersebut.

“China adalah importir minyak mentah terbesar di dunia dan mereka menawarkan banyak insentif yang menguntungkan kepada kerajaan,” katanya.

Selama ini pembelian minyak menggunakan sistem petrodolar. Ini merupakan sebuah kesepakatan berlaku pada transaksi perdagangan minyak dunia, di mana setiap pembelian minyak yang dilakukan hanya bisa menggunakan dolar sebagai mata uang pembayarannya.

Rujuk dengan Iran

Baru-baru ini, Arab Saudi juga membuat kejutan dengan memutuskan untuk melanjutkan kembali hubungan diplomasinya dengan Iran. Padahal, Washington dan mitranya di Timur Tengah, Israel, masih memandang Teheran sebagai negara yang menyimpan ancaman regional besar.

Lagi-lagi, China berperan aktif dalam kesepakatan ini. Kesepakatan keduanya muncul saat perwakilan kedua negara bertemu di Beijing, China, 10 Maret lalu.

Terlihat foto yang menunjukan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran Ali Shamkhani berjabat tangan dengan penasihat keamanan nasional Saudi Musaad bin Mohammed Al Aiban. Sementara itu diplomat paling senior China, Wang Yi, berdiri di antara mereka.

Wang mengatakan bahwa China akan terus memainkan peran konstruktif dalam menangani masalah hotspot dan menunjukkan tanggung jawab sebagai negara besar. Ia menambahkan bahwa China sebagai mediator yang beritikad baik dan dapat diandalkan, telah memenuhi pekerjaannya sebagai tuan rumah dialog.

Beberapa analis mengatakan bahwa ini merupakan bukti semakin kuatnya peran China pada arena politik global, mengalahkan AS. Mantan pejabat senior AS dan PBB Jeffrey Feltman mengatakan peran China adalah aspek paling signifikan dari perjanjian tersebut.

“Ini akan ditafsirkan, mungkin secara akurat, sebagai tamparan pada pemerintahan Biden dan sebagai bukti bahwa China adalah kekuatan yang sedang naik daun,” kata Feltman, yang juga seorang peneliti di Brookings Institution, kepada Reuters.

Hal serupa juga diungkapkan Daniel Russel, diplomat top AS untuk Asia Timur di bawah mantan presiden Barack Obama. Ia mengatakan tidak biasa bagi China untuk bertindak sendiri untuk membantu menengahi kesepakatan diplomatik dalam perselisihan yang bukan merupakan salah satu pihak.

“Pertanyaannya adalah apakah ini bentuk yang akan datang. Mungkinkah itu menjadi pendahulu upaya mediasi China antara Rusia dan Ukraina ketika (Presiden Xi Jinping) mengunjungi Moskow?,” terangnya.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*