Jeffrey Gundlach, investor veteran yang dikenal sebagai “Raja Obligasi” muncul dalam sebuah wawancara dengan CNBC International awal pekan ini. Dalam kesempatan tersebut, Gundlach yang pendapatnya kerap dijadikan referensi pelaku pasar memperingatkan risiko resesi yang akan dialami Amerika Serikat (AS) dalam beberapa bulan ke depan.
“Tekanan bagi perekonomian semakin besar, kita sudah membicarakan hal tersebut beberapa waktu terakhir, dan saya pikir resesi akan datang dalam beberapa bulan ke depan,” kata Gundlach dalam wawancaranya dengan CNBC International, Senin (27/3/2023).
Sang “Raja Obligasi” mengatakan inversi imbal hasil (yield) surat uang pemerintah AS (Treasury) merupakan peramal resesi yang akurat.
Dalam kondisi normal, yield obligasi jangka pendek akan lebih rendah dari jangka panjang. Sementara saat inversi kebalikannya, yield obligasi jangka pendek lebih tinggi ketimbang jangka panjang.
Di Amerika Serikat, inversi terjadi antara yield Treasury tenor 2 tahun dengan tenor 10 tahun
Inversi bisa dilihat dari spread (selisih) yield tenor 10 tahun dengan 2 tahun. Ketika spread-nya negatif artinya mengalami inversi. Pada Selasa (7/3/2023) selisihnya sempat menembus -103,5 basis poin, menjadi yang terbesar dalam lebih dari empat dekade terakhir, berdasarkan data Refinitiv.
Kali terakhir selisih sebesar 100 basis poin atau 1% terjadi pada 1981, Amerika Serikat dalam kondisi yang sama mengalami inflasi tinggi. Saat itu, resesi akhirnya terjadi dan tingkat pengangguran meroket.
Inversi yield Treasury AS tidak hanya terjadi di tahun ini, tetapi sudah berkali-kali. Karena bukan”barang baru”, setiap kali terjadi inversi maka pelaku pasar akan was-was.
Inversi hampir selalu diikuti dengan resesi. Riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
Dan sejak tahun 2018 hingga saat ini inversi terjadi 2 kali. Sehingga total sejak 1955 hingga saat ini sudah terjadi 12 kali inversi.
Inversi terakhir kali terjadi pada tahun 2019, sebelum terjadinya pandemi Covid-19, kemudian pada April tahun lalu inversi terjadi selama dua hari. Kemudian sejak Juli 2022 berlanjut hingga saat ini, artinya sudah terjadi selama 9 bulan.
Kemungkinan terjadi resesi di Amerika Serikat juga dikatakan semakin dekat pasca gonjang-ganjing sektor perbankan. Hal ini bahkan diungkapkan oleh Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari dalam wawancaranya dengan CBS.
“Ini jelas membawa kita semakin dekat (dengan resesi) saat ini, apa yang belum jelas bagi kami saat ini adalah seberapa banyak tekanan perbankan yang bisa membuat krisis kredit meluas. Kemudian, krisis kredit akan memperlambat perekonomian,” kata Kashkari sebagaimana dilansir CNBC International.
Gundlach pun menyebut The Fed akan bertindak dramatis dengan memangkas suku bunga beberapa kali tahun ini.
Selain itu, ia juga menyarankan investor untuk menjual saham ketika sedang terjadi kenaikan atau sell on rally, khususnya saat indeks S&P 500 menyentuh kisaran 4.200 – 4.300. Pada perdagangan Selasa waktu setempat, S&P berada di kisaran 3.900.
Jika melihat prediksi sang “Raja Obligasi”, dampak ke pasar finansial Indonesia seharusnya tidak akan parah. Sebab, meski resesi terjadi, The Fed diprediksi akan memangkas suku bunga, yang tentunya memberikan sentimen positif ke pasar saham.
Pasar kini melihat The Fed tidak akan menaikkan suku bunga lagi. Bahkan banyak yang memprediksi suku bunga akan dipangkas pada Juli nanti. Hal tersebut tercermin dari perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat ada probabilitas sebesar 54% The Fed akan memangkas suku bunganya 25 basis poin menjadi 4,5% – 4,75%.