Realisasi produksi terangkut (lifting) minyak mentah Indonesia hampir selalu di bawah target dalam 20 tahun terakhir. Ambisi besar untuk mencapai lifting minyak sebanyak 1 juta barel per hari (bph) pun bahkan sudah gagal terwujud dalam 17 tahun terakhir.
Lifting minyak sebesar 1 juta bph terakhir kali tercapai pada 2005 yakni sebesar 1,07 juta bph. Tahun tersebut merupakan periode awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dalam kurun waktu 20 tahun atau sejak 2003, hanya dua realisasi lifting melewati target yakni pada 2016 dan 2020.
Namun, target tersebut sebenarnya sudah sudah diturunkan dari proyeksi awal melalui APBN-Perubahan pada 2016 ataupun melalui Perpres pada 2020 karena pandemi Covid-19.
Realisasi lifting minyak bahkan merosot tajam dari sebesar 1,037 juta bph di era awal Presiden SBY pada 2004 menjadi 711,3 ribu bph pada akhir pemerintahannya pada 2013.
Pada era Jokowi, lifting minyak anjlok dari 794 ribu bph pada 2014 menjadi 612,3 ribu bph pada 2022.
Pada tahun ini, lifting minyak bahkan hanya ditargetkan sebesar 660 ribu bph. Target tersebut semakin menjauh dari ambisi 1 juta bph.
dak hanya lifting minyak, lifting gas juga terus anjlok. Dalam tiga tahun terakhir, Indonesia bahkan sudah tidak mampu memproduksi gas sebesar 1 juta barel setara minyak per hari (boepd).
Semakin tergerusnya lifting minyak dan gas tentu saja berimbas negatif kepada neraca perdagangan hingga transaksi berjalan.
Pasalnya, impor semakin besar dan menggerus surplus pada neraca perdagangan non-migas. Pada 2022, nilai impor migas menembus US$ 40,42 miliar atau melesat 58,3%.
Deputi Eksploitasi SKK Migas, Wahju Wibowo menjelaskan sejumlah faktor membuat realisasi lifting di bawah target. Termasuk di dalamnya adalah pandemi Covid-19.
“Ada beberapa waterfall, ada beberapa klaim yang lebih tua pengeboran di lapangan, belum target improve. Adanya juga unplanned shut down. Gas juga penjelasan yang sama cenderung flat, unplanned tinggi,” ungkap Wahju dalam Konferensi Pers, Rabu (18/1/2023).
Praktisi sektor hulu migas Tumbur Parlindungan menjelaskan anjloknya lifting minyak gas merupakan dampak dari penurunan laju alamiah (natural decline) dan berkurangnya eksplorasi.
Dia menambahkan salah satu penemuan besar terakhir Indonesia adalah oleh ExxonMobil pada 2001. Lapangan Banyu Urip di Blok Cepu diperkirakan memproduksi hingga 220.000 bpd.
Menurut Tumbur, aktivitas eksploitasi seperti workover, well service ataupun development wells drilling memang akan meningkatkan produksi minyak. Namun, produksi tidak akan maksimal.
Dia mengingatkan eksplorasi minyak sudah jauh berkurang dibandingkan pada periode-periode sebelumnya. Padahal, eksplorasi merupakan syarat utama menemukan ladang minyak baru.
Dalam catatan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), aktivitas eksplorasi pada 2022 mencakup 30 sumur.
Eksplorasi rencananya akan ditingkatkan pada tahun ini menjadi sebanyak 57 sumur. Meskipun meningkat, jumlahnya jauh berkurang pada periode sebelumnya.
Merujuk data APBN 1982/1983, pengeboran baru dilakukan terhadap 179 sumur pada 1980.
Selain eksplorasi, nilai investasi di sektor migas juga turun dari sekitar US$ 1 miliar menjadi US$ 0,6 miliar pada 2021. Target investasi 2023 ditingkatkan menjadi sebesar US$ 1,7 miliar.
Tumbur mengingatkan perbaikan iklim investasi menjadi syarat wajib jika Indonesia ingin mengundang investor di sektor minyak, sekaligus membuka kemungkinan bertambahnya lifting komoditas tersebut.
“Indonesia kan bersaing dengan negara lain untuk mengundang investor. Yang punya uang kan mereka dan investor punya banyak pilihan negara untuk berinvestasi. Ekosistem investasi di migas diperbaiki baik dari birokrasi maupun legislasi,” ujar Tumbur.
Menurutnya, Indonesia mungkin menawarkan sejumlah insentif seperti pengurangan pajak atau cost recovery. Namun, negara lain juga menawarkan insentif yang tak kalah menarik.
“Menurut kita, apa yang kita tawarkan lebih menarik. Tapi kan itu menurut kita. Investor dihadapkan pada banyak pilihan dan mereka akan memilih mana yang lebih efisien dan iklim usaha yang lebih bersahabat,” imbuhnya.
Tumbur menjelaskan cadangan minyak dan gas Indonesia masih sangat besar. Cadangan tersebut memungkinkan Indonesia untuk meningkatkan lifting hingga lebih dari 1 juta bph.
“Kalau dulu kita pernah memproduksi 1,3 juta bph ya berarti kita bisa memproduksi lebih besar,” imbuhnya.
Sebagai catatan, Indonesia pernah menjadi eksportir minyak pada periode 1970-an dan awal 1980-an.
Pada awal 1980-an, lifting minyak Indonesia menembus 1,5-1,6 juta bph.
Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia dalam Lintas Sejarah menjelaskan komposisi industri migas (pengolahan minyak) pada PDB Indonesia juga meningkat dari 0,6% pada 1975 menjadi 5% pada 1985.
Nilai ekspor minyak bumi mencapai puncaknya pada 1981-1982 dengan rata-rata tahunan mencapai US$ 14,6 miliar. Angkanya merosot tajam menjadi US$ 7,7 miliar pada 1985.
Pada tahun anggaran 1981/1982 dan 1982/1983, migas menyumbang 67% dari penerimaan dalam negeri pemerintah.